A. PENDAHULUAN
Pemerintah yang bersih akan menjamin
efisiensi hasil penerimaan dengan pengeluaran negara, terhindar dari kebocoran.
Pemerintah yang bersih akan jauh dari praktek kolusi, korupsi dan nepotisme
antara Penguasa dengan segelintir Pengusaha. Untuk itu rakyat membutuh pemimpin
yang peka dan membatasi bisnis keluarga/kerabat/kroninya agar tidak melampaui
kepatutan. Pemerintahan oleh Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang berpihak
kepada pengusaha bermodal yang juga rakyat kita dan berperan dalam memperkuat
daya saing ekonomi nasional, tetapi wawasan ekonomi kerakyatan Susilo Bambang
Yudhoyono menekankan pentingnya demokrasi ekonomi. Yakni diwujudkan dengan
upaya kita bersama memperbesar akses permodalan, pemasaran dan emansipasi dalam
bisnis bagi sebagian besar rakyat kita yang mayoritas berskala usaha mikro dan
kecil. (Budiyono, 2008)
Dalam
perspektif Aristoteles dan para filosof Yunani pada umumnya, politik dimaknai
sebagai segala sesuatu yang sifatnya dapat merealisasikan kebaikan di tengah
masyarakat. Imam Syafi’i memberi definisi bahwa politik adalah hal – hal yang
bersesuaian dengan syara’. Pengertian ini dijelaskan oleh Ibnu Aqil bahwa politik
adalah hal – hal praktis yang lebih mendekati kemaslahatan bagi manusia dan
lebih menjauhkan dari kerusakan meskipun tidak digariskan oleh Rasulullah saw
atau dibawa oleh wahyu Allah Ta’ala.
Selanjutnya
politik bisa dimaknai secara lebih luas sebagai kepedulian terhadap berbagai
dinamika dan persoalan umat. Hasan Al Banna menyebutkan politik adalah “hal
memikirkan persoalan-persoalan internal maupun eksternal umat”. Yang dimaksud
dengan internal adalah “mengurus persoalan pemerintahan, menjelaskan fungsi-fungsinya,
merinci kewajiban dan hak-haknya, melakukan pengawasan terhadap para penguasa
untuk kemudian dipatuhi jika mereka melakukan kebaikan dan dikritasi jika
mereka melakukan kekeliruan.
Dalam
Islam integrasi politik ke dalam agama terlihat jelas dalam ekspresi keagamaan
dan politik pada masa Nabi Muhammad, dan selanjutnya dalam banyak hal
dilanjutkan dan diikuti oleh al-Khulafa
al –Rasyidin, empat khalifah sesudah Rasul Allah. Hal yang sama juga
terjadi pada kekhalifahan Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah serta beberapa
kerajaan-kerajaan Islam sesudahnya. Meskipun begitu, praktek polotik dan
pemerintahan setelah khalifah empat ini berakhir, sulit lagi untuk diklaim
secara absah seiring dengan konspesi politik dan kekuasaan yang dipraktek oleh
Nabi Muhammad.
Dakwah
pada hakekatnya adalah mengajak dalam hal yang baik pada diri sendiri ataupun
kepada orang lain. Dalam hal untuk berbuat baik harusnya sesuai dengan
ketentuan yang telah digariskan oleh Allah dan Rasul-Nya, serta meninggalkan
perbutan tercela (yang dilarang oleh Allah SWT) dan Rasul-Nya. Dakwah ini bisa
diidentifikasikan sebagai amar ma’ruf
nahi munkar.
Dalam
menyampaikan dakwah akan selalu terkait dengan amal ma’ruf nahi munkar, seorang da’i pun dalam menyampaikan dakwah
akan berpedoman kepada Al-Qur’an dan Al-Hadits, di dalam Al-Qur’an dan
Al-Hadits itu terkandung pedoman dan tuntunan tentang bagaimana cara -
cara dan teknik untuk berdakwah, seperti
firman Allah SWT, dalam QS An- Nahl : 125, yaitu:
Artinya : Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan – Mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka
dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dia-lah yang lebih mengetahui
tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia-lah yang lebih mengetahui
orang-orang yang mendapat petunjuk.
Nahi munkar
artinya melarang kepada perbuatan yang munkar
(Syukir, 1983: 11). Menurut Shihab (2001: 162), kata munkar dipahami banyak ulama sebagai segala sesuatu, baik ucapan
maupun perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan agama, akal, dan adat-istiadat.
Penekanan kata munkar lebih banyak
pada adat-istiadat. Demikian juga kata ma’ruf
yang dipahami dalam arti adat istiadat yang sejalan dengan tuntunan agama.
Amar ma’ruf nahi
munkar, digunakan syariat Islam untuk pengertian
memerintahkan ataupun mengajak diri serta orang lain untuk melakukan hal-hal
yang benar-benar dipandang baik oleh agama, juga untuk melarang dan mencegah
serta menghindari diri dan orang lain dari hal-hal yang telah dilarang atau di
pandang buruk oleh agama. Ulama fiqih telah sepakat bahwa amal ma’ruf nahi munkar adalah prinsip yang harus dimiliki oleh
setiap muslim. Jadi Islam menginginkan setiap orang yang memeluk agama Islam
dapat melakukan apa yang baik dan menghindari apa saja yang dilarang oleh
agama.
B.
Menghentikan
Praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN)
Pendekatan
yang dilakukan dalam mewujudkan pemerintah yang bersih ialah memberantas
praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Istilah ini mulai santer digunakan
pada masa dan pascareformasi 1998. Ada semacam kesadaran kolektif bahwa krisis
yang memicu runtuhnya pemerintahan di masa lalu tidak lain karena merebaknya
praktik KKN. Perilaku korup seperti suap, pemerasan, jual-beli berdasarkan
preferensi, kolusi, nepotisme, penipuan, uang pelicin, uang panas, upeti, dsb.,
merupakan gejala umum yang menghinggapi birokrasi dan politik kita. Dalam
praktik tersebut, para pejabat mendapatkan keuntungan materil dari pihak lain
sebagai imbalan atau kompensasi karena tindakannya melakukan atau membatalkan
tindakan tertentu yang diminta. (Ginting, 2010)
Tentu
saja praktek semacam ini sangat merugikan rakyat karena akses mereka pada
pemerataan menjadi terganjal, sumber-sumber daya yang dihimpun dari kekayaan
alam yang seharusnya dimanfaatkan untuk kemakmuran rakyat masuk ke kantong-kantong
para elit-elit politik yang melakukan korup, dan akibatnya pun kepercayaan
rakyat terhadap integritas negara, lembaga-lembaga, dan pejabat-pejabatnya
menjadi menurun drastis. Dengan kata lain, praktik Korupsi Kolusi dan Nepotisme
telah merusak seluruh tatanan kehidupan
bernegara. Bukankah ini sangat miris?
Melihat
langkah-langkah pemerintah SBY yang sangat serius untuk memberantas KKN kita
memang patut optimis. Hanya saja perlu diingat bahwa langkah semacam itu tidak
mudah karena itu perlu dukungan semua pihak. Pasalnya, persoalan KKN telah
menjadi masalah kultural. (Budiyono, 2008)
Pendekatan
hukum sangat diperlukan untuk memberi shock
therapy bagi para calon koruptor, dan sanksi yang pantas bagi pelaku.
Pendekatan politik dan budaya akan mempertimbangkan aspek yang lebih luas,
seperti masalah kesenjangan, ketimpangan sosial, eksploitasi ekonomi, dan juga
budaya korupsi itu sendiri. Bahkan yang terakhir ini ditengarai paling sulit
karena telah berurat-akar. Itulah sebabnya tidak mudah untuk memberantas Korupsi,
Kolusi dan Nepotisme dalam waktu semalam, seperti yang diinginkan oleh mereka
yang tidak sabar. (Ginting, 2010)
Satu
hal lagi, kalau kita mau jujur, di era otonomi daerah seperti sekarang ini
upaya pemberantasan korupsi justru menghadapi kendala yang luar biasa besar.
Penyimpangan kekuasaan yang selalu diikuti oleh praktik KKN terdapat di semua
daerah. Kontrol pemerintah pusat terhadap daerah-daerah kian berkurang, bahkan
lambat laut telah hilang. Padahal, daerah sendiri melalui perangkat pengawasannya
tampak tidak siap mengambil peran tersebut. Gejala korupsi yang di masa lalu
bisa dikatakan “terpusat” kini tersebar dan semakin merajalela. Karena itu
keberanian Presiden SBY untuk memberantas KKN benar-benar sebuah jihat.
Sejauh
mana jihad itu akan berhasil? Mungkin belum saatnya mengajukan pertanyaan
semacam itu. Yang diperlukan saat ini ialah bahwa tekad itu harus menjadi
kesadaran nasional. Rakyat sudah memahami dan merasakan betapa luasnya skala
kerugian yang diderita akibat praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dan
penyalahgunaan uang Negara dan kekuasaan. Karena itu, sinyal yang kuat dari
Presiden Soesilo Bambang Yudoyono untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan
bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme harus disambut dengan bersama-sama menyingsingkan
lengan baju. Pekerjaan ini bukan hanya tanggung jawab seorang presiden. Kita
semua harus ikut memikulnya agar tugas berat ini menjadi ringan.
C.
Prinsip-Prinsip
Kepemimpinan
Sebuah
cerita inspiratif yang berasal dari seorang politisi lokal yang terkena polio
sehingga menjadi lumpuh, akhirnya FDR atau Franklin Delano Roosevelt menjadi
presiden AS, memimpin bangsa Amerika melewati masa Great Depression. Tetapi perjuangan ke arah kepresidenan sungguh
tidak mudah dan tidak direncanakan. Dalam penderitaan kelumpuhannya, tanpa
disengaja FDR mengubah kelemahannya menjadi kekuatan penemuan, sehingga dapat
menolong dirinya dan orang lain, di Warm Spring, Georgia, AS. (Santos, 2009)
Beliau
adalah seorang sosok pemimpin yang sejati. Bukan hanya pernah memimpin Amerika
empat kali secara berturut-turut, tapi karena ia mampu memberi inspirasi dengan
kebaikan, keberanian dan sekaligus penderitaannya. Ia juga dikenal taat
beragama. Bahkan ditengarai sikap-sikap kepemimpinannya diletakkan secara sadar
pada ajaran agama yang dianutnya yaitu Protestan. Namun ia seorang religius
yang terbuka.
Pada
Tahun 1941, ia mendeklarasikan empat kebebasan, yakni kebebasan untuk berbicara
dan menyatak pendapat (freedom of speech),
kebebasan beragama (freedom of religion),
kebebasan dari kemelaratan (freedom from
want) dan kebebasan dari ketakutan (freedom
from fear).
Tidak
banyak pemimpin seperti dia, tapi bukan berarti kita tidak punya. Sejarah
Nusantara kita yang panjang telah banyak memberi referensi tentang bagaimana
seharusnya menjadi pemimpin. Jatuh bangunnya kerajaan-kerajaan besar di
Nusantara lagi-lagi menjadi pelajaran berharga bagaimana integritas seorang
pemimpin akan menentukan soliditis rakyat dan kohesi kebangsaan.
Konsep-konsep
kepemimpinan yang diajarkan agama-agama bersifat universal, dalam arti memiliki
kesamaan spirit satu sama lain. Perbedaannya mungkin terletak pada penekanan,
bukan menafikan yang lain. Hal ini wajar belaka karena setiap agama tentunya
memiliki aksentuasi. Misalnya ajaran Islam lebih kuat penekanannya pada dimensi
keadilan, sementara ajaran Kristiani pada kasih-sayang. Bukan berarti dalam
Islam menolak ajaran kasih-sayang, atau Kristiani tidak memperhatikan keadilan.
Sebagai
anak yang lahir dari keturunan orangtua Hindu-Bali Bung Karno sangat potensial
menerima gen seorang yang ditakdirkan untuk menjadi pemimpin. Kecerdasan Bung
Karno dalam menggali Pancasila dan mentransformasikan ajaran Bineka Tunggal Ika
ke dalam kehidupan politik Indonesia modern merupakan pencapaian yang besar.
Akan tetapi, Bung Karno juga seorang muslim yang taat. Beliau tidak pernah
meningglkan shalat lima waktu. Bahkan, Bung Karno mencoba dan berusaha
meneladani sifat-sifat kepemimpinan Nabi Muhammad. Ia memiliki integritas dan
jujur (shiddiq), memiliki
intelektualitas yang tinggi dan cerdas (fathonah),
memiliki legitimasi dan akuntabel, dapat dipercaya (amanah), dan berani mengatakan kebenaran (tabligh). (Santos, 2009)
Para pemimpin, mereka semua memperoleh
mandat atau legitimasi yang besar dari rakyatnya. Tantangan yang dihadapi
setiap pemimpin berbeda karena zamannya memang berbeda. Katena itu tidak pada
tempatnya untuk membandingkan satu dengan yang lain secara head to head. Tugas pemimpin ialah melaksanakan mandat rakyatnya
karena suara rakyat yang dipercayakan kepadanya adalah suara Tuhan (vox populi vox dei). Dan tugas rakyat
ialah taat dan loyal kepada pemimpinnya.
Para pemimpin yang lahir di alam
Indonesia ini memiliki pretensi mendunia atau menyampaikan sesuatu pada dunia.
Memimpin dunia tidak dalam arti harus menguasai, melainkan to lead untuk sampai pada kesadaran baru yang diperlukan zamannya.
Dan Soesilo Bambang Yudhoyono ada di depan dalam soal itu.
Segala sesuatu pasti memerlukan proses.
Kita tidak bisa menyulap keinginan untuk menciptakan good governance hanya dalam waktu semalam. Disana-sini tentu masih
ada kekurangan. Tapi kita tidak boleh berhenti. Dan yang lebih penting, kita
harus tetap berpijak pada kemampuan kita sendiri. Boleh saja sebagian orang
berteriak keras bahwa reformasi berjalan lambat, karena membandingkannya dengan
apa yang telah berlangsung di negara-negara maju. Tapi mereka lupa bahwa
negara-negara maju pun tidak melakukannya semalam. Ada pergulatan yang panjang,
ada pengorbanan, ada trial and error,
sebelum sampai pada kondisi seperti sekarang. (Dwiyanto, 2006)
Hal lain yang tidak boleh kita lupakan
ialah sinergi antara birokrasi dengan masyarakat dalam mewujudkan good governance. Sudah pasti reformasi
birokrasi tidak akan berjalan kalau para aparat birokrasinya sendiri tidak
bermental reformis. Tetapi itu saja belum cukup. Masyarakat juga harus memiliki
mentalitas yang sama. Salah satu kegagalan upaya mewujudkan good governance di masa lalu ialah sikap
masyarakat sendiri yang kurang mendukung. (Dwiyanto, 2006)
D.
Politik
Islam dan Politik Versi Nabi
Persoalan politik
dengan segala dinamikanya, tentunya senantiasa berlanjut seiring dan inhairen
dalam perjalanan sejarah politik ummat Islam. Sehingga, menurut Nurcholish
Majdid (1990), memperbincangkan masalah ummat Islam acap kali merambah, secara
tak terhindarkan, ke masalah politik dalam Islam.
Jika masalah politik selalu muncul
dalam berbagai pembahasan tentang Islam, hal itu wajar sekali, dan seharusnya
tidak perlu menimbulkan keheranan. Dalam kaitannya dengan masalah politik ini,
kaum muslimin bisa mengatakan bahwa agama Islam berbeda dengan agama yang lain.
Kepemimpinan Nabi Muhammad Saw,
tidak sebatas urusan agama semata, akan tetapi beliau juga memimpin sebuah
negara yang mempunyai wilayah kekuasaan, rakyat, dan sistem ketatanegaraan.
Dalam praktek kenegaraan yang dijabarkan oleh Nabi adalah membangun negara
Madinah dan pemerintahannya, dan dilanjutkan oleh Khulafaurrasyidin Ahmadiyyin
(Pemimpin yang cerdas dan mendapat petunjuk). Sejatinya Islam adalah agama yang
sempurna termasuk sistem politik dan ketatanegaraan, maka tidak perlu bagi umat
Islam mengimport sistem politik Barat yang sangat kental dengan sekularismenya.
E.
Tentang
Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Secara sosiologis, keduanya, yakni al-ma’ruf
dan al-munkar menunjuk pada kenyataan bahwa kebaikan dan
keburukan itu terdapat dalam masyarakat. Umat Islam dituntut untuk mengenali
kebaikan dan keburukan yang ada dalam masyarakat, kemudian mendorong, memupuk,
dan memberanikan diri kepada tindakan
– tindakan kebaikan, dan pada waktu yang sama ia mampu mencegah, mencegah,
menghalangi, dan menghambat tindakan – tindakan keburukan.
Menyerukan manusia kepada kebajikan,
menyuruh ma’ruf dan mencegah munkar ialah mengajak manusia kepada
agama Allah dengan berbagai upaya yang menarik, menganjurkan, mengajak dan
menyuruh para manusia berbuat ma’ruf dan melarang orang berbuat munkar serta menghilangkan kemunkaran , dengan jalan – jalan yang
benarkan syara. Ma’ruf ialah setiap pekerjaan (urusan) yang diketahui
dan dimaklumi berasal dari agama Allah dan syara’-Nya. Masuk ke dalamnya segala
yang wajib, yang mandub. Ma’ruf itu diartikan juga kesadaran, keakraban
persahabatan, lemah lembut terhadap keluarga dan lain – lain. Munkar ialah setiap pekerjaan yang tidak
bersumber dari agama Allah dan syara’-Nya, setiap pekerjaan yang dipandang oleh
syara’. Masuk ke dalamnya segala yang haram dan segala yang makruh. Adapun mubah, ialah yang tidak ma’ruf
dan tidak pula dipandang munkar.
Menyerukan manusia kepada agama Allah, disebut dakwah. Adapun pekerjaan menyuruh
ma’ruf dan mencegah munkar dinamai hisbah.
Yang melakukan hisbah dinamai muhtasib.(Hasbi, 2001: 347-348).
Amar
ma’ruf nahi munkar merupakan tuntunan yang diturunkan Allah dalam kitab –
kitabnya yang disampaikan oleh rasul – rasulnya, dan merupakan bagian dari
syari’at Islam. Risalah Allah, ada yang berupa berita (akhbar) dan ada juga
berupa tuntunan (insya). Akhbar disini menyangkut zatnya, makhluknya, seperti
tauhidullah dan kisah – kisah yang mengandung janji baik dan buruk (wa’ad dan
wa’id). Adapun isinya adalah perintah (amar),
larangan (nahi) dan pembolehan
(ibadah). (Taimiyyah, 1990 : 15).
Adapun pengertian “nahi munkar” adalah mengharamkan segala bentuk kekejian,
sedang “amar ma’ruf” berarti
memerintahkan semua yang baik yang diperintahkan Allah. Perintah melakukan
semua yang baik dan melarang semua yang keji akan terlaksana secara sempurna
karena diutusnya Rasulullah Saw oleh Allah Swt, untuk menyempurnakan akhlak
mulia bagi umatnya.
Tentu saja jelas Allah telah
menyempurnakan agama ini untuk kita, telah melengkapi nikmat kepada kita, dan
Allah telah meridhoi Islam sebagai satu
satuannya agama bagi umat
manusia. Oleh karena umat Nabi Muhammada saw merupakan umaat yang terbaik,
sebagaimana firman Allah swt.
“Kamu
adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang
ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar dan beriman kepada Allah.” (QS. Ali-Imran
: 110).
Dengan jelas Allah menegaskan bahwa
umat ini adalah sebaik-baiknya umat yang senantiasa berbuat ihsan sehingga
keberadaannya sangat besar manfaatnya bagi segenap umat manusia. Dengan amar ma’ruf nahi munkar itu mereka
menyempurnakan seluruh kebaikan dan kemanfaatan bagi umat manusia. Sedangkan
bagian umat yang lain tidak ada yang memerintahkan untuk melaksanakan semua yang
ma’ruf bagi kemaslahatan seluruh
lapisan manusia, dan tidak pula melarang semua orang dari melakukan berbuat
kemunkaran. Mereka tidak berjihad untuk itu. Bahkan sekalipun di antara mereka
ada yang sama sekali tidak pernah berjihad, seperti Bani Israil, mereka lebih
banyak melakukan penganiayaan dan pengusiran serta pembunuhan terhadap musuh –
musuh mereka. Semua ini mereka melakukannya salam rangka mengarahkan mereka
(musuh) kepada hidayah dan kebaikan atau menyeru mereka menjelaskan yang ma’ruf nahi munkar. (Taimiyyah, 1990 :
15-18).
Jelaslah sudah, bahwa pelaksanaan amar ma’ruf nahi munkar adalah wajib hukumnya,
dan bahwa kewajiban itu tidak akan gugur sepanjang ada kemampuan untuk
melaksanakannya. Kecuali apabila telah ada orang – orang lain yang melaksanakannya
secara cukup.
Kita ketahui bahwa Al-Qur’an dan
sunnah melalui dakwahnya mengamanahkan nilai – nilai. Nilai – nilai itu ada
yang bersifat mendasar, universal dan abadi, serta ada juga bersifat praktis,
lokal, dan temporal sehingga dapat berbeda antara satu tempat atau waktu dan
tempat atau waktu yang lain. Perbedaan, perubahan, dan perkembangan nilai itu
dapat ditrima oleh Islam selama tidak bertentangan dengan nilai – nilai
universal.
F.
Tentang
Dakwah
Dalam pengertian yang integralistik,
dakwah merupakan suatu proses yang berkesinambungan yang ditangani oleh para
pengemban dakwah untuk mengubah sasaran dakwah agar bersedia masuk ke jalan Allah, dan secara bertahap menuju
perikehidupan yang islami (Hafidhudin, 2000 : 77). Dakwah setiap usaha rekontruksi
masyarakat yang masih mengandung unsur – unsur jahili agar menjadi masyarakat
yang Islami (Rais, 1999 : 25).
Lebih jauh dari itu, pada hakikatnya
dakwah Islam merupakan aktualisasi imani (teologis) yang dimanifestasikan dalam
suatu system kegiatan manusia beriman dalam bidang kemasyarakatan yang
dilaksanakan secara teratur untuk mempengaruhi cara merasa, bersikap, berfikir
dan bertindak manusia pada dataran kenyataan individual dan sosio kultural
dalam rangka mengusahakan terwujudnya ajaran Islam dalam semua segi kehidupan
dengan menggunakan cara tertentu (Amrullah, 1983: 2).
Adapun tujuan dakwah adalah untuk
mempengaruhi cara berfikir dan bersikap serta bertindak bagi manusia dalam
rangka terwujudnya ajaran Islam dalam berbagai segi kehidupan. Di dalam dunia
dakwah tidak hanya dalam hal menyampaikan akan tetapi juga bagaimana berbicara
tentang tujuan atau target sasaran yang akan dicapai dari sebuah proses atau
hasil akhir dari aktifitas religius.
Dakwah juga meliputi semua aspek
kehidupan manusia baik moral, sosial budaya, hukum maupun politik. Dimana
dakwah ini merupakan suatu usaha untuk menciptakan suatu suasana yang lebih
baik sesuai dengan ajaran – ajaran Islam di segala bidang kehidupan.
Secara teori umat Islam percaya
bahwa ajaran – ajaran Islam itu meliputi seluruh dimensi kemanusiaan, dengan
kata lain apa yang disebut masalah sekuler, dimana kekuasaan (politik) menyatu
dengan wawasan moral sebagai pancaran dari iman seorang muslim. Dengan demikian
politik tidak dapat dipisahkan dari ajaran etik yang bersumber dari wahyu.
G.
Relevansi
dalam perspektif dakwah tentang amar
ma’ruf nahi munkar dengan dakwah saat ini
Dalam Al-Qur’an, istilah amal ma’ruf nahi munkar secara berulang
dinyatakan sebagai istilah yang utuh, artinya tidak dipisahkan antara amar ma’ruf dan nahi munkar. Istilah itu bahkan berulang kali sampai sembilan kali
pun diulang hanya dalam lima surat.
Kata ma’ruf itu sendiri, secara
harfiah dapat diartikan sebagai yang dikenal, dimengerti dan dipahami serta
dapat diterima oleh masyarakat. Perbuatan yang ma’ruf itu jika dikerjakan
dapat diterima dan dapat dipahami oleh manusia, dan dipuji karena begitulah
suatu hal yang patut yang dapat dikerjakan oleh manusia yang mengfungsikan
akalnya sebagai khas kediriannya.
Kebalikan dari kata ma’ruf adalah munkar,
yakni yang benci, tidak disukai, tidak disenangi, dan ini juga bisa ditolak
oleh masyarakat karena hal ini tidak layak atau tidak patut, tidak pantas, dan
tidak selayaknya dikerjakan oleh manusia yang berakal.
Dengan demikian, perkataan ma’ruf berkaitan dengan perkataan al – ‘urf yang berarti adat, dalam hal ini adat yang
baik. Dalam pengertiannya sebagai adat yang baik itulah (al-‘urf) diakui eksistensi dan fungsinya dalam Islam, sehingga
dalam teori ushul al-fiqh disebutkan bahwa
adat dapat dijadikan hukum. Oleh karena itu, al-ma’ruf dalam pengertian inimerupakan lawan dari al-munkar. Sebab al-munkar berarti apa saja
yang diingkari, yakni diingkari oleh fitrahnya atau di tolak oleh hati
nuraninya.
Di sinilah terletak kaitan amar
ma’ruf nahi mungkar dan dakwah sebab salah satu tugas dakwah adalah membentuk
pendapat umum (public opinion) tentang sesuatu yang baik ataupun sesuatu hal
yang buruk. Disinilah terdapatnya relevansi dalam konsep amar ma’ruf nahi
munkar karena dakwah saat ini menghadapi tantangan yang besar dan semakin
rumit.
Persoalan demi persoalan terus
berkembang, seiring dengan itu bertaburan sejumlah kemaksiatan. Namun
memberantas kemaksiatantidak semudah itu, resiko dan akibat pasti akan
dirasakan oleh para pedakwah. Tidak terlihat sedikitnya para pedakwah maupun
da’I yang berusaha menyuruh untuk ma’ruf dan mencegah dari hal – hal yang munkar, tapi
sejalan dengan itu pula semakin banyak pula kemungkaran yang berkembang.
Kontradiksi seperti ini bukan sesuatu yang sulit untuk dipahami, mengingat
tidak sedikit orang yang merespon negatif ketika diseru untuk amal ma’ruf nahi munkar”.
KESIMPULAN
Pemerintah
yang bersih akan jauh dari praktek kolusi, korupsi dan nepotisme antara
Penguasa dengan segelintir Pengusaha. Untuk itu rakyat membutuh pemimpin yang
peka dan membatasi bisnis keluarga/kerabat/kroninya agar tidak melampaui
kepatutan.
Konsep-konsep
kepemimpinan yang diajarkan agama-agama bersifat universal, dalam arti memiliki
kesamaan spirit satu sama lain. Perbedaannya mungkin terletak pada penekanan,
bukan menafikan yang lain.
Para pemimpin, mereka semua memperoleh
mandat atau legitimasi yang besar dari rakyatnya. Tantangan yang dihadapi
setiap pemimpin berbeda karena zamannya memang berbeda. Katena itu tidak pada
tempatnya untuk membandingkan satu dengan yang lain secara head to head. Tugas pemimpin ialah melaksanakan mandat rakyatnya
karena suara rakyat yang dipercayakan kepadanya adalah suara Tuhan (vox populi vox dei). Dan tugas rakyat
ialah taat dan loyal kepada pemimpinnya.
Persoalan
politik dengan segala dinamikanya, tentunya senantiasa berlanjut seiring dan
inhairen dalam perjalanan sejarah politik ummat Islam. Dalam Islam integrasi
politik ke dalam agama terlihat jelas dalam ekspresi keagamaan dan politik pada
masa Nabi Muhammad.
Islam
adalah agama dakwah yaitu agama yang menugaskan kepada umatnya untuk
menyebarluaskan dan menyiarkan Islam kepada seluruh umat. Dengan cara dakwah
hal ini dapat dilakukan untuk disampaikan kepada seluruh umat Islam. Dalam
menyampaikan dakwah akan selalu terkait dengan amal ma’ruf nahi munkar, seorang da’i pun dalam menyampaikan dakwah
akan berpedoman kepada Al-Qur’an dan Al-Hadits, di dalam Al-Qur’an dan
Al-Hadits itu terkandung pedoman dan tuntunan tentang bagaimana cara -
cara dan teknik untuk berdakwah.
Amar ma’ruf nahi
munkar, digunakan syariat Islam untuk pengertian
memerintahkan ataupun mengajak diri serta orang lain untuk melakukan hal-hal
yang benar-benar dipandang baik oleh agama, juga untuk melarang dan mencegah
serta menghindari diri dan orang lain dari hal-hal yang telah dilarang atau di
pandang buruk oleh agama.
DAFTAR PUSTAKA
Amrullah
Ahmad. 1983. Dakwah Islam dan Perubahan
Sosial. Yogyakarta: Primadura
Budiyono,
Zaenal A., 2008. Demokrasi Bukan Basa Basi,
Langkah SBY Mengawal Demokrasi dan Mengembalikan Indonesia ke Orbit Dunia, Jakarta,
DCSC Publishing
Dwiyanto,
Agus. 2006. Mewujudkan Good Governance
Melalui Pelayanan Publik. Yogyakarta, Gadjah Mada University Press
Ginting,
Jamin. 2010. Selected Reading on
Corruption in Indonesia: the decisions of Indonesia suprema court, Volume
1, MTI
Hafidudin
didin. 2000. Dakwah Aktual. Jakarta:
Gema Insani
Hasbi
ash-Shiddieqy. 2001. Al-Islam. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
Rais
Amin. 1999. Cakrawala Islami antara Cita
dan Fakta. Bandung: Mizan
Santos,
Arysio. 2009. Atlantis:the Lost Continent Finally Found, Indonesia Ternyata Tempat
Lahir Peradaban Dunia, terjemahan, Jakarta: Ufuk Press
Syukir
Asmuni. 1983. Dasar-dasar Strategi Dakwah
Islam. Surabaya: Al-Ikhlas
Shihab
M Quraish. 2001. Pesan Kesan dan
Keserasian Al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati
Tamiyyah
Ibnu. 1990. Etika Beramar Ma’ruf Nahi
Munkar. Jakarta: Gema Insani
Tidak ada komentar:
Posting Komentar