Kamis, 20 Agustus 2015

Pemerintahan yang Bersih dan Politik Versi Nabi dengan Konsep Amar Ma’ruf Nahi Munkar dalam Perspektif Dakwah


A.      PENDAHULUAN
            Pemerintah yang bersih akan menjamin efisiensi hasil penerimaan dengan pengeluaran negara, terhindar dari kebocoran. Pemerintah yang bersih akan jauh dari praktek kolusi, korupsi dan nepotisme antara Penguasa dengan segelintir Pengusaha. Untuk itu rakyat membutuh pemimpin yang peka dan membatasi bisnis keluarga/kerabat/kroninya agar tidak melampaui kepatutan. Pemerintahan oleh Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang berpihak kepada pengusaha bermodal yang juga rakyat kita dan berperan dalam memperkuat daya saing ekonomi nasional, tetapi wawasan ekonomi kerakyatan Susilo Bambang Yudhoyono menekankan pentingnya demokrasi ekonomi. Yakni diwujudkan dengan upaya kita bersama memperbesar akses permodalan, pemasaran dan emansipasi dalam bisnis bagi sebagian besar rakyat kita yang mayoritas berskala usaha mikro dan kecil. (Budiyono, 2008)
Dalam perspektif Aristoteles dan para filosof Yunani pada umumnya, politik dimaknai sebagai segala sesuatu yang sifatnya dapat merealisasikan kebaikan di tengah masyarakat. Imam Syafi’i memberi definisi bahwa politik adalah hal – hal yang bersesuaian dengan syara’. Pengertian ini dijelaskan oleh Ibnu Aqil bahwa politik adalah hal – hal praktis yang lebih mendekati kemaslahatan bagi manusia dan lebih menjauhkan dari kerusakan meskipun tidak digariskan oleh Rasulullah saw atau dibawa oleh wahyu Allah Ta’ala.
Selanjutnya politik bisa dimaknai secara lebih luas sebagai kepedulian terhadap berbagai dinamika dan persoalan umat. Hasan Al Banna menyebutkan politik adalah “hal memikirkan persoalan-persoalan internal maupun eksternal umat”. Yang dimaksud dengan internal adalah “mengurus persoalan pemerintahan, menjelaskan fungsi-fungsinya, merinci kewajiban dan hak-haknya, melakukan pengawasan terhadap para penguasa untuk kemudian dipatuhi jika mereka melakukan kebaikan dan dikritasi jika mereka melakukan kekeliruan.
Dalam Islam integrasi politik ke dalam agama terlihat jelas dalam ekspresi keagamaan dan politik pada masa Nabi Muhammad, dan selanjutnya dalam banyak hal dilanjutkan dan diikuti oleh al-Khulafa al –Rasyidin, empat khalifah sesudah Rasul Allah. Hal yang sama juga terjadi pada kekhalifahan Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah serta beberapa kerajaan-kerajaan Islam sesudahnya. Meskipun begitu, praktek polotik dan pemerintahan setelah khalifah empat ini berakhir, sulit lagi untuk diklaim secara absah seiring dengan konspesi politik dan kekuasaan yang dipraktek oleh Nabi Muhammad.
Dakwah pada hakekatnya adalah mengajak dalam hal yang baik pada diri sendiri ataupun kepada orang lain. Dalam hal untuk berbuat baik harusnya sesuai dengan ketentuan yang telah digariskan oleh Allah dan Rasul-Nya, serta meninggalkan perbutan tercela (yang dilarang oleh Allah SWT) dan Rasul-Nya. Dakwah ini bisa diidentifikasikan sebagai amar ma’ruf nahi munkar.
Dalam menyampaikan dakwah akan selalu terkait dengan amal ma’ruf nahi munkar, seorang da’i pun dalam menyampaikan dakwah akan berpedoman kepada Al-Qur’an dan Al-Hadits, di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits itu terkandung pedoman dan tuntunan tentang bagaimana cara - cara  dan teknik untuk berdakwah, seperti firman Allah SWT, dalam QS An- Nahl : 125, yaitu:




Artinya : Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan – Mu dengan hikmah dan   pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dia-lah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.

Nahi munkar artinya melarang kepada perbuatan yang munkar (Syukir, 1983: 11). Menurut Shihab (2001: 162), kata munkar dipahami banyak ulama sebagai segala sesuatu, baik ucapan maupun perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan agama, akal, dan adat-istiadat. Penekanan kata munkar lebih banyak pada adat-istiadat. Demikian juga kata ma’ruf yang dipahami dalam arti adat istiadat yang sejalan dengan tuntunan agama.
Amar ma’ruf nahi munkar, digunakan syariat Islam untuk pengertian memerintahkan ataupun mengajak diri serta orang lain untuk melakukan hal-hal yang benar-benar dipandang baik oleh agama, juga untuk melarang dan mencegah serta menghindari diri dan orang lain dari hal-hal yang telah dilarang atau di pandang buruk oleh agama. Ulama fiqih telah sepakat bahwa amal ma’ruf nahi munkar adalah prinsip yang harus dimiliki oleh setiap muslim. Jadi Islam menginginkan setiap orang yang memeluk agama Islam dapat melakukan apa yang baik dan menghindari apa saja yang dilarang oleh agama.

B.       Menghentikan Praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN)
Pendekatan yang dilakukan dalam mewujudkan pemerintah yang bersih ialah memberantas praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Istilah ini mulai santer digunakan pada masa dan pascareformasi 1998. Ada semacam kesadaran kolektif bahwa krisis yang memicu runtuhnya pemerintahan di masa lalu tidak lain karena merebaknya praktik KKN. Perilaku korup seperti suap, pemerasan, jual-beli berdasarkan preferensi, kolusi, nepotisme, penipuan, uang pelicin, uang panas, upeti, dsb., merupakan gejala umum yang menghinggapi birokrasi dan politik kita. Dalam praktik tersebut, para pejabat mendapatkan keuntungan materil dari pihak lain sebagai imbalan atau kompensasi karena tindakannya melakukan atau membatalkan tindakan tertentu yang diminta. (Ginting, 2010)
Tentu saja praktek semacam ini sangat merugikan rakyat karena akses mereka pada pemerataan menjadi terganjal, sumber-sumber daya yang dihimpun dari kekayaan alam yang seharusnya dimanfaatkan untuk kemakmuran rakyat masuk ke kantong-kantong para elit-elit politik yang melakukan korup, dan akibatnya pun kepercayaan rakyat terhadap integritas negara, lembaga-lembaga, dan pejabat-pejabatnya menjadi menurun drastis. Dengan kata lain, praktik Korupsi Kolusi dan Nepotisme  telah merusak seluruh tatanan kehidupan bernegara. Bukankah ini sangat miris?
Melihat langkah-langkah pemerintah SBY yang sangat serius untuk memberantas KKN kita memang patut optimis. Hanya saja perlu diingat bahwa langkah semacam itu tidak mudah karena itu perlu dukungan semua pihak. Pasalnya, persoalan KKN telah menjadi masalah kultural. (Budiyono, 2008)
Pendekatan hukum sangat diperlukan untuk memberi shock therapy bagi para calon koruptor, dan sanksi yang pantas bagi pelaku. Pendekatan politik dan budaya akan mempertimbangkan aspek yang lebih luas, seperti masalah kesenjangan, ketimpangan sosial, eksploitasi ekonomi, dan juga budaya korupsi itu sendiri. Bahkan yang terakhir ini ditengarai paling sulit karena telah berurat-akar. Itulah sebabnya tidak mudah untuk memberantas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dalam waktu semalam, seperti yang diinginkan oleh mereka yang tidak sabar. (Ginting, 2010)
Satu hal lagi, kalau kita mau jujur, di era otonomi daerah seperti sekarang ini upaya pemberantasan korupsi justru menghadapi kendala yang luar biasa besar. Penyimpangan kekuasaan yang selalu diikuti oleh praktik KKN terdapat di semua daerah. Kontrol pemerintah pusat terhadap daerah-daerah kian berkurang, bahkan lambat laut telah hilang. Padahal, daerah sendiri melalui perangkat pengawasannya tampak tidak siap mengambil peran tersebut. Gejala korupsi yang di masa lalu bisa dikatakan “terpusat” kini tersebar dan semakin merajalela. Karena itu keberanian Presiden SBY untuk memberantas KKN benar-benar sebuah jihat.
Sejauh mana jihad itu akan berhasil? Mungkin belum saatnya mengajukan pertanyaan semacam itu. Yang diperlukan saat ini ialah bahwa tekad itu harus menjadi kesadaran nasional. Rakyat sudah memahami dan merasakan betapa luasnya skala kerugian yang diderita akibat praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dan penyalahgunaan uang Negara dan kekuasaan. Karena itu, sinyal yang kuat dari Presiden Soesilo Bambang Yudoyono untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme harus disambut dengan bersama-sama menyingsingkan lengan baju. Pekerjaan ini bukan hanya tanggung jawab seorang presiden. Kita semua harus ikut memikulnya agar tugas berat ini menjadi ringan.

C.      Prinsip-Prinsip Kepemimpinan
Sebuah cerita inspiratif yang berasal dari seorang politisi lokal yang terkena polio sehingga menjadi lumpuh, akhirnya FDR atau Franklin Delano Roosevelt menjadi presiden AS, memimpin bangsa Amerika melewati masa Great Depression. Tetapi perjuangan ke arah kepresidenan sungguh tidak mudah dan tidak direncanakan. Dalam penderitaan kelumpuhannya, tanpa disengaja FDR mengubah kelemahannya menjadi kekuatan penemuan, sehingga dapat menolong dirinya dan orang lain, di Warm Spring, Georgia, AS. (Santos, 2009)
Beliau adalah seorang sosok pemimpin yang sejati. Bukan hanya pernah memimpin Amerika empat kali secara berturut-turut, tapi karena ia mampu memberi inspirasi dengan kebaikan, keberanian dan sekaligus penderitaannya. Ia juga dikenal taat beragama. Bahkan ditengarai sikap-sikap kepemimpinannya diletakkan secara sadar pada ajaran agama yang dianutnya yaitu Protestan. Namun ia seorang religius yang terbuka.
Pada Tahun 1941, ia mendeklarasikan empat kebebasan, yakni kebebasan untuk berbicara dan menyatak pendapat (freedom of speech), kebebasan beragama (freedom of religion), kebebasan dari kemelaratan (freedom from want) dan kebebasan dari ketakutan (freedom from fear).
Tidak banyak pemimpin seperti dia, tapi bukan berarti kita tidak punya. Sejarah Nusantara kita yang panjang telah banyak memberi referensi tentang bagaimana seharusnya menjadi pemimpin. Jatuh bangunnya kerajaan-kerajaan besar di Nusantara lagi-lagi menjadi pelajaran berharga bagaimana integritas seorang pemimpin akan menentukan soliditis rakyat dan kohesi kebangsaan.
Konsep-konsep kepemimpinan yang diajarkan agama-agama bersifat universal, dalam arti memiliki kesamaan spirit satu sama lain. Perbedaannya mungkin terletak pada penekanan, bukan menafikan yang lain. Hal ini wajar belaka karena setiap agama tentunya memiliki aksentuasi. Misalnya ajaran Islam lebih kuat penekanannya pada dimensi keadilan, sementara ajaran Kristiani pada kasih-sayang. Bukan berarti dalam Islam menolak ajaran kasih-sayang, atau Kristiani tidak memperhatikan keadilan.
Sebagai anak yang lahir dari keturunan orangtua Hindu-Bali Bung Karno sangat potensial menerima gen seorang yang ditakdirkan untuk menjadi pemimpin. Kecerdasan Bung Karno dalam menggali Pancasila dan mentransformasikan ajaran Bineka Tunggal Ika ke dalam kehidupan politik Indonesia modern merupakan pencapaian yang besar. Akan tetapi, Bung Karno juga seorang muslim yang taat. Beliau tidak pernah meningglkan shalat lima waktu. Bahkan, Bung Karno mencoba dan berusaha meneladani sifat-sifat kepemimpinan Nabi Muhammad. Ia memiliki integritas dan jujur (shiddiq), memiliki intelektualitas yang tinggi dan cerdas (fathonah), memiliki legitimasi dan akuntabel, dapat dipercaya (amanah), dan berani mengatakan kebenaran (tabligh). (Santos, 2009)
Para pemimpin, mereka semua memperoleh mandat atau legitimasi yang besar dari rakyatnya. Tantangan yang dihadapi setiap pemimpin berbeda karena zamannya memang berbeda. Katena itu tidak pada tempatnya untuk membandingkan satu dengan yang lain secara head to head. Tugas pemimpin ialah melaksanakan mandat rakyatnya karena suara rakyat yang dipercayakan kepadanya adalah suara Tuhan (vox populi vox dei). Dan tugas rakyat ialah taat dan loyal kepada pemimpinnya.
Para pemimpin yang lahir di alam Indonesia ini memiliki pretensi mendunia atau menyampaikan sesuatu pada dunia. Memimpin dunia tidak dalam arti harus menguasai, melainkan to lead untuk sampai pada kesadaran baru yang diperlukan zamannya. Dan Soesilo Bambang Yudhoyono ada di depan dalam soal itu.
Segala sesuatu pasti memerlukan proses. Kita tidak bisa menyulap keinginan untuk menciptakan good governance hanya dalam waktu semalam. Disana-sini tentu masih ada kekurangan. Tapi kita tidak boleh berhenti. Dan yang lebih penting, kita harus tetap berpijak pada kemampuan kita sendiri. Boleh saja sebagian orang berteriak keras bahwa reformasi berjalan lambat, karena membandingkannya dengan apa yang telah berlangsung di negara-negara maju. Tapi mereka lupa bahwa negara-negara maju pun tidak melakukannya semalam. Ada pergulatan yang panjang, ada pengorbanan, ada trial and error, sebelum sampai pada kondisi seperti sekarang. (Dwiyanto, 2006)
Hal lain yang tidak boleh kita lupakan ialah sinergi antara birokrasi dengan masyarakat dalam mewujudkan good governance. Sudah pasti reformasi birokrasi tidak akan berjalan kalau para aparat birokrasinya sendiri tidak bermental reformis. Tetapi itu saja belum cukup. Masyarakat juga harus memiliki mentalitas yang sama. Salah satu kegagalan upaya mewujudkan good governance di masa lalu ialah sikap masyarakat sendiri yang kurang mendukung. (Dwiyanto, 2006)

D.      Politik Islam dan Politik Versi Nabi
            Persoalan politik dengan segala dinamikanya, tentunya senantiasa berlanjut seiring dan inhairen dalam perjalanan sejarah politik ummat Islam. Sehingga, menurut Nurcholish Majdid (1990), memperbincangkan masalah ummat Islam acap kali merambah, secara tak terhindarkan, ke masalah politik dalam Islam.
            Jika masalah politik selalu muncul dalam berbagai pembahasan tentang Islam, hal itu wajar sekali, dan seharusnya tidak perlu menimbulkan keheranan. Dalam kaitannya dengan masalah politik ini, kaum muslimin bisa mengatakan bahwa agama Islam berbeda dengan agama yang lain.
            Kepemimpinan Nabi Muhammad Saw, tidak sebatas urusan agama semata, akan tetapi beliau juga memimpin sebuah negara yang mempunyai wilayah kekuasaan, rakyat, dan sistem ketatanegaraan. Dalam praktek kenegaraan yang dijabarkan oleh Nabi adalah membangun negara Madinah dan pemerintahannya, dan dilanjutkan oleh Khulafaurrasyidin Ahmadiyyin (Pemimpin yang cerdas dan mendapat petunjuk). Sejatinya Islam adalah agama yang sempurna termasuk sistem politik dan ketatanegaraan, maka tidak perlu bagi umat Islam mengimport sistem politik Barat yang sangat kental dengan sekularismenya.

E.       Tentang Amar Ma’ruf Nahi Munkar
            Secara sosiologis, keduanya, yakni al-ma’ruf  dan al-munkar  menunjuk pada kenyataan bahwa kebaikan dan keburukan itu terdapat dalam masyarakat. Umat Islam dituntut untuk mengenali kebaikan dan keburukan yang ada dalam masyarakat, kemudian mendorong, memupuk, dan memberanikan diri kepada     tindakan – tindakan kebaikan, dan pada waktu yang sama ia mampu mencegah, mencegah, menghalangi, dan menghambat tindakan – tindakan keburukan.
            Menyerukan manusia kepada kebajikan, menyuruh ma’ruf dan mencegah munkar ialah mengajak manusia kepada agama Allah dengan berbagai upaya yang menarik, menganjurkan, mengajak dan menyuruh para manusia berbuat ma’ruf  dan melarang orang berbuat munkar serta menghilangkan kemunkaran , dengan jalan – jalan yang benarkan syara. Ma’ruf  ialah setiap pekerjaan (urusan) yang diketahui dan dimaklumi berasal dari agama Allah dan syara’-Nya. Masuk ke dalamnya segala yang wajib, yang mandub. Ma’ruf  itu diartikan juga kesadaran, keakraban persahabatan, lemah lembut terhadap keluarga dan lain – lain. Munkar ialah setiap pekerjaan yang tidak bersumber dari agama Allah dan syara’-Nya, setiap pekerjaan yang dipandang oleh syara’. Masuk ke dalamnya segala yang haram dan segala yang makruh. Adapun mubah, ialah yang tidak ma’ruf dan tidak pula dipandang munkar. Menyerukan manusia kepada agama Allah, disebut dakwah. Adapun pekerjaan menyuruh ma’ruf  dan mencegah munkar dinamai hisbah. Yang melakukan hisbah dinamai muhtasib.(Hasbi, 2001: 347-348).
            Amar ma’ruf nahi munkar merupakan tuntunan yang diturunkan Allah dalam kitab – kitabnya yang disampaikan oleh rasul – rasulnya, dan merupakan bagian dari syari’at Islam. Risalah Allah, ada yang berupa berita (akhbar) dan ada juga berupa tuntunan (insya). Akhbar disini menyangkut zatnya, makhluknya, seperti tauhidullah dan kisah – kisah yang mengandung janji baik dan buruk (wa’ad dan wa’id). Adapun isinya adalah perintah (amar), larangan (nahi) dan pembolehan (ibadah). (Taimiyyah, 1990 : 15).
            Adapun pengertian “nahi munkar”  adalah mengharamkan segala bentuk kekejian, sedang “amar ma’ruf” berarti memerintahkan semua yang baik yang diperintahkan Allah. Perintah melakukan semua yang baik dan melarang semua yang keji akan terlaksana secara sempurna karena diutusnya Rasulullah Saw oleh Allah Swt, untuk menyempurnakan akhlak mulia bagi umatnya.
            Tentu saja jelas Allah telah menyempurnakan agama ini untuk kita, telah melengkapi nikmat kepada kita, dan Allah telah meridhoi Islam sebagai satu  satuannya agama  bagi umat manusia. Oleh karena umat Nabi Muhammada saw merupakan umaat yang terbaik, sebagaimana firman Allah swt.




“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar dan beriman kepada Allah.” (QS. Ali-Imran : 110).

            Dengan jelas Allah menegaskan bahwa umat ini adalah sebaik-baiknya umat yang senantiasa berbuat ihsan sehingga keberadaannya sangat besar manfaatnya bagi segenap umat manusia. Dengan amar ma’ruf nahi munkar itu mereka menyempurnakan seluruh kebaikan dan kemanfaatan bagi umat manusia. Sedangkan bagian umat yang lain tidak ada yang memerintahkan untuk melaksanakan semua yang ma’ruf bagi kemaslahatan seluruh lapisan manusia, dan tidak pula melarang semua orang dari melakukan berbuat kemunkaran. Mereka tidak berjihad untuk itu. Bahkan sekalipun di antara mereka ada yang sama sekali tidak pernah berjihad, seperti Bani Israil, mereka lebih banyak melakukan penganiayaan dan pengusiran serta pembunuhan terhadap musuh – musuh mereka. Semua ini mereka melakukannya salam rangka mengarahkan mereka (musuh) kepada hidayah dan kebaikan atau menyeru mereka menjelaskan yang ma’ruf nahi munkar. (Taimiyyah, 1990 : 15-18).
            Jelaslah sudah, bahwa pelaksanaan amar ma’ruf nahi munkar adalah wajib hukumnya, dan bahwa kewajiban itu tidak akan gugur sepanjang ada kemampuan untuk melaksanakannya. Kecuali apabila telah ada orang – orang lain yang melaksanakannya secara cukup.
            Kita ketahui bahwa Al-Qur’an dan sunnah melalui dakwahnya mengamanahkan nilai – nilai. Nilai – nilai itu ada yang bersifat mendasar, universal dan abadi, serta ada juga bersifat praktis, lokal, dan temporal sehingga dapat berbeda antara satu tempat atau waktu dan tempat atau waktu yang lain. Perbedaan, perubahan, dan perkembangan nilai itu dapat ditrima oleh Islam selama tidak bertentangan dengan nilai – nilai universal.

F.       Tentang Dakwah
            Dalam pengertian yang integralistik, dakwah merupakan suatu proses yang berkesinambungan yang ditangani oleh para pengemban dakwah untuk mengubah sasaran dakwah agar bersedia masuk  ke jalan Allah, dan secara bertahap menuju perikehidupan yang islami (Hafidhudin, 2000 : 77). Dakwah setiap usaha rekontruksi masyarakat yang masih mengandung unsur – unsur jahili agar menjadi masyarakat yang Islami (Rais, 1999 : 25).
            Lebih jauh dari itu, pada hakikatnya dakwah Islam merupakan aktualisasi imani (teologis) yang dimanifestasikan dalam suatu system kegiatan manusia beriman dalam bidang kemasyarakatan yang dilaksanakan secara teratur untuk mempengaruhi cara merasa, bersikap, berfikir dan bertindak manusia pada dataran kenyataan individual dan sosio kultural dalam rangka mengusahakan terwujudnya ajaran Islam dalam semua segi kehidupan dengan menggunakan cara tertentu (Amrullah, 1983: 2).
            Adapun tujuan dakwah adalah untuk mempengaruhi cara berfikir dan bersikap serta bertindak bagi manusia dalam rangka terwujudnya ajaran Islam dalam berbagai segi kehidupan. Di dalam dunia dakwah tidak hanya dalam hal menyampaikan akan tetapi juga bagaimana berbicara tentang tujuan atau target sasaran yang akan dicapai dari sebuah proses atau hasil akhir dari aktifitas religius.
            Dakwah juga meliputi semua aspek kehidupan manusia baik moral, sosial budaya, hukum maupun politik. Dimana dakwah ini merupakan suatu usaha untuk menciptakan suatu suasana yang lebih baik sesuai dengan ajaran – ajaran Islam di segala bidang kehidupan.
            Secara teori umat Islam percaya bahwa ajaran – ajaran Islam itu meliputi seluruh dimensi kemanusiaan, dengan kata lain apa yang disebut masalah sekuler, dimana kekuasaan (politik) menyatu dengan wawasan moral sebagai pancaran dari iman seorang muslim. Dengan demikian politik tidak dapat dipisahkan dari ajaran etik yang bersumber dari wahyu.

G.      Relevansi dalam perspektif dakwah tentang amar ma’ruf nahi munkar dengan dakwah saat ini
            Dalam Al-Qur’an, istilah amal ma’ruf nahi munkar secara berulang dinyatakan sebagai istilah yang utuh, artinya tidak dipisahkan antara amar ma’ruf dan nahi munkar. Istilah itu bahkan berulang kali sampai sembilan kali pun diulang hanya dalam lima surat.
            Kata ma’ruf  itu sendiri, secara harfiah dapat diartikan sebagai yang dikenal, dimengerti dan dipahami serta dapat diterima oleh masyarakat. Perbuatan yang ma’ruf  itu jika dikerjakan dapat diterima dan dapat dipahami oleh manusia, dan dipuji karena begitulah suatu hal yang patut yang dapat dikerjakan oleh manusia yang mengfungsikan akalnya sebagai khas kediriannya.
            Kebalikan dari kata ma’ruf  adalah munkar, yakni yang benci, tidak disukai, tidak disenangi, dan ini juga bisa ditolak oleh masyarakat karena hal ini tidak layak atau tidak patut, tidak pantas, dan tidak selayaknya dikerjakan oleh manusia yang berakal.
            Dengan demikian, perkataan ma’ruf  berkaitan dengan perkataan al – ‘urf  yang berarti adat, dalam hal ini adat yang baik. Dalam pengertiannya sebagai adat yang baik itulah (al-‘urf) diakui eksistensi dan fungsinya dalam Islam, sehingga dalam teori ushul al-fiqh disebutkan bahwa adat dapat dijadikan hukum. Oleh karena itu, al-ma’ruf dalam pengertian inimerupakan lawan dari al-munkar. Sebab al-munkar  berarti apa saja yang diingkari, yakni diingkari oleh fitrahnya atau di tolak oleh hati nuraninya.
            Di sinilah terletak kaitan amar ma’ruf nahi mungkar dan dakwah sebab salah satu tugas dakwah adalah membentuk pendapat umum (public opinion)  tentang sesuatu yang baik ataupun sesuatu hal yang buruk. Disinilah terdapatnya relevansi dalam konsep amar ma’ruf nahi munkar karena dakwah saat ini menghadapi tantangan yang besar dan semakin rumit.
            Persoalan demi persoalan terus berkembang, seiring dengan itu bertaburan sejumlah kemaksiatan. Namun memberantas kemaksiatantidak semudah itu, resiko dan akibat pasti akan dirasakan oleh para pedakwah. Tidak terlihat sedikitnya para pedakwah maupun da’I yang berusaha menyuruh untuk ma’ruf  dan mencegah dari hal – hal yang munkar, tapi sejalan dengan itu pula semakin banyak pula kemungkaran yang berkembang. Kontradiksi seperti ini bukan sesuatu yang sulit untuk dipahami, mengingat tidak sedikit orang yang merespon negatif ketika diseru untuk amal ma’ruf nahi munkar”.









KESIMPULAN

Pemerintah yang bersih akan jauh dari praktek kolusi, korupsi dan nepotisme antara Penguasa dengan segelintir Pengusaha. Untuk itu rakyat membutuh pemimpin yang peka dan membatasi bisnis keluarga/kerabat/kroninya agar tidak melampaui kepatutan.
Konsep-konsep kepemimpinan yang diajarkan agama-agama bersifat universal, dalam arti memiliki kesamaan spirit satu sama lain. Perbedaannya mungkin terletak pada penekanan, bukan menafikan yang lain.
Para pemimpin, mereka semua memperoleh mandat atau legitimasi yang besar dari rakyatnya. Tantangan yang dihadapi setiap pemimpin berbeda karena zamannya memang berbeda. Katena itu tidak pada tempatnya untuk membandingkan satu dengan yang lain secara head to head. Tugas pemimpin ialah melaksanakan mandat rakyatnya karena suara rakyat yang dipercayakan kepadanya adalah suara Tuhan (vox populi vox dei). Dan tugas rakyat ialah taat dan loyal kepada pemimpinnya.
Persoalan politik dengan segala dinamikanya, tentunya senantiasa berlanjut seiring dan inhairen dalam perjalanan sejarah politik ummat Islam. Dalam Islam integrasi politik ke dalam agama terlihat jelas dalam ekspresi keagamaan dan politik pada masa Nabi Muhammad.
Islam adalah agama dakwah yaitu agama yang menugaskan kepada umatnya untuk menyebarluaskan dan menyiarkan Islam kepada seluruh umat. Dengan cara dakwah hal ini dapat dilakukan untuk disampaikan kepada seluruh umat Islam. Dalam menyampaikan dakwah akan selalu terkait dengan amal ma’ruf nahi munkar, seorang da’i pun dalam menyampaikan dakwah akan berpedoman kepada Al-Qur’an dan Al-Hadits, di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits itu terkandung pedoman dan tuntunan tentang bagaimana cara - cara  dan teknik untuk berdakwah.
Amar ma’ruf nahi munkar, digunakan syariat Islam untuk pengertian memerintahkan ataupun mengajak diri serta orang lain untuk melakukan hal-hal yang benar-benar dipandang baik oleh agama, juga untuk melarang dan mencegah serta menghindari diri dan orang lain dari hal-hal yang telah dilarang atau di pandang buruk oleh agama.



DAFTAR PUSTAKA

Amrullah Ahmad. 1983. Dakwah Islam dan Perubahan Sosial. Yogyakarta: Primadura
Budiyono, Zaenal A., 2008. Demokrasi Bukan Basa Basi, Langkah SBY Mengawal Demokrasi dan Mengembalikan Indonesia ke Orbit Dunia, Jakarta, DCSC Publishing
Dwiyanto, Agus. 2006. Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik. Yogyakarta, Gadjah Mada University Press
Ginting, Jamin. 2010. Selected Reading on Corruption in Indonesia: the decisions of Indonesia suprema court, Volume 1, MTI
Hafidudin didin. 2000. Dakwah Aktual. Jakarta: Gema Insani
Hasbi ash-Shiddieqy. 2001. Al-Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Rais Amin. 1999. Cakrawala Islami antara Cita dan Fakta. Bandung: Mizan
Santos, Arysio. 2009.  Atlantis:the Lost Continent Finally Found, Indonesia Ternyata Tempat Lahir Peradaban Dunia, terjemahan, Jakarta: Ufuk Press
Syukir Asmuni. 1983. Dasar-dasar Strategi Dakwah Islam. Surabaya: Al-Ikhlas
Shihab M Quraish. 2001. Pesan Kesan dan Keserasian Al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati
Tamiyyah Ibnu. 1990. Etika Beramar Ma’ruf Nahi Munkar. Jakarta: Gema Insani

Tidak ada komentar:

Posting Komentar